Sindiran Bijak dalam Irama Riang: Mengenal Lagu Daerah Gundul-gundul Pacul
Tanah Jawa memiliki khazanah lagu daerah yang tak ternilai harganya, tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai media penyampaian pesan moral dan sosial. Salah satu lagu daerah yang populer dan sarat makna adalah “Gundul-gundul Pacul”. Dipercaya diciptakan oleh Sunan Kalijaga, lagu daerah ini menggunakan bahasa sederhana namun menyimpan sindiran bijak tentang kepemimpinan dan tanggung jawab. Mari kita telaah lebih lanjut tentang lagu daerah “Gundul-gundul Pacul”, lirik, makna filosofis, dan relevansinya hingga kini.
Asal Usul dan Pencipta Lagu Gundul-gundul Pacul
Sama seperti “Ilir-ilir”, lagu daerah “Gundul-gundul Pacul” juga diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga dalam upayanya menyebarkan ajaran Islam melalui akulturasi budaya. Lagu ini diperkirakan muncul pada abad ke-15 atau ke-16 Masehi. Melalui melodi yang riang dan lirik yang mudah diingat, Sunan Kalijaga menyampaikan kritik sosial dan nasihat kepemimpinan kepada masyarakat Jawa pada masanya.
Mengurai Makna Mendalam dalam Lirik Gundul-gundul Pacul
Lirik lagu daerah “Gundul-gundul Pacul” meskipun singkat, mengandung metafora yang kuat tentang seorang pemimpin. Berikut adalah lirik lengkapnya beserta interpretasi umumnya:
Gundul-gundul pacul cul, gembelengan (Kepala tanpa rambut cangkul, bertingkah sembrono) Nyunggi-nyunggi wakul kul, gembelengan (Membawa bakul di kepala, bertingkah sembrono) Wakul ngglimpang segane dadi sak latar (Bakul terguling nasinya tumpah sehalaman) Wakul ngglimpang segane dadi sak latar (Bakul terguling nasinya tumpah sehalaman)
“Gundul” (kepala tanpa rambut) melambangkan kehormatan dan kemuliaan seorang pemimpin. “Pacul” (cangkul) adalah alat petani yang melambangkan rakyat kecil. Jadi, “gundul pacul” dapat diartikan sebagai seorang pemimpin yang seharusnya dekat dengan rakyat.
“Gembelengan” (bertingkah sembrono) menyiratkan kritik terhadap pemimpin yang bertindak seenaknya, tidak bertanggung jawab, dan meremehkan amanah yang diembannya.
“Nyunggi-nyunggi wakul” (membawa bakul di kepala) menggambarkan seorang pemimpin yang memikul tanggung jawab rakyat. “Wakul” (bakul) berisi “sego” (nasi) yang melambangkan kesejahteraan rakyat.
“Wakul ngglimpang segane dadi sak latar” (bakul terguling nasinya tumpah sehalaman) adalah konsekuensi dari kepemimpinan yang sembrono dan tidak bertanggung jawab. Kesejahteraan rakyat menjadi berantakan dan sia-sia.
Secara keseluruhan, lagu daerah ini menyampaikan pesan bahwa seorang pemimpin yang dihormati seharusnya mampu membawa kesejahteraan rakyat dengan penuh tanggung jawab, bukan bertindak sembrono yang justru merugikan rakyatnya.
Informasi Tambahan:
Menurut wawancara dengan Bapak Dr. Bambang Setiawan, seorang ahli sejarah dan budaya Jawa dari Universitas Gadjah Mada pada hari Jumat, 25 April 2025, lagu daerah “Gundul-gundul Pacul” seringkali digunakan sebagai contoh dalam diskusi tentang etika kepemimpinan dalam budaya Jawa. Beliau menyatakan bahwa meskipun diciptakan berabad-abad lalu, pesan yang terkandung dalam lagu ini tetap relevan hingga kini, mengingatkan para pemimpin untuk selalu mengutamakan kepentingan rakyat.